Oleh : Donny Wahyu I., SPt*
Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipasok dari tiga sumber, yaitu peternakan rakyat, peternakan komersial dan impor. Berdasarkan tiga sumber ini usaha peternakan rakyat tetap menjadi tumpuan utama, sehingga dibutuhkan usaha-usaha untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong.
Populasi adalah sekumpulan individu organisme dari spesies yang sama dan menempati area atau wilayah tertentu pada suatu waktu (Sambasiviah et al., 1982). Sifat-sifat khas yang dimiliki oleh suatu populasi adalah kerapatan populasi (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), umur, mutu genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Besarnya populasi sapi potong dipengaruhi oleh berbagai penyebab antara lain: banyaknya pemotongan, kematian ternak, ekspor ternak, dan tinggi rendahnya natural increase.
Menurut Prof. Dr. Ir. Sumadi, M.S., populasi sapi potong di Pulau Jawa yang ada sekarang terdiri dari bangsa sapi PO, persilangan Simmental dengan PO (SIMPO), persilangan Limousin dengan PO (LIMPO), Brangus dan Madura, tetapi jumlah masing-masing bangsa sapi dan struktur populasinya tidak diketahui. Padahal data dasar tentang populasi dan struktur populasi sangat penting dan diperlukan untuk dasar membuat kebijakan dalam peningkatan produktivitas, pengembangan dan pelestarian sapi potong tersebut.
Sebagian besar sapi yang dipelihara di Pulau Jawa adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Namun demikian, akhir-akhir ini peternak sudah banyak memilih sapi hasil persilangan antara sapi betina PO dengan pejantan Simmental dan Limousin, dengan tujuan untuk mendapatkan sapi yang lebih besar dan meningkatkan pendapatan. Peternak memilih sapi-sapi hasil persilangan tersebut karena dianggap mempunyai keunggulan dalam produksi dan reproduksinya dibandingkan sapi PO, tetapi kemampuan adaptasi terhadap lingkungan tropis masih kalah dengan sapi PO. Jika sapi PO secara terus-menerus disilangkan dengan pejantan Simmental dan Limousin dengan arah dan tujuan yang tidak jelas, maka populasi sapi PO akan terus menurun.
DATA PERSENTASE SEBARAN SAPI POTONG TAHUN 2014 |
|||||
NO |
KABUPATEN |
PO |
MADURA |
PERSILANGAN |
LAINNYA |
1 |
Bangkalan |
- |
94,65 |
5,35 |
- |
2 |
Bondowoso |
36,27 |
0,56 |
62,33 |
0,83 |
3 |
Gresik |
15,28 |
- |
45,15 |
39,57 |
4 |
Kediri |
30,00 |
0,30 |
59,46 |
10,24 |
5 |
Lamongan |
6,70 |
- |
86,72 |
6,57 |
6 |
Madiun |
13,76 |
- |
86,24 |
- |
7 |
Magetan |
8,37 |
0,29 |
85,08 |
6,25 |
8 |
Nganjuk |
17,35 |
- |
73,84 |
8,81 |
9 |
Ngawi |
37,54 |
- |
64,44 |
7,58 |
10 |
Pasuruan |
64,43 |
3,54 |
25,83 |
6,20 |
11 |
Ponorogo |
21,94 |
- |
78,06 |
- |
12 |
Probolinggo |
47,10 |
10,84 |
29,93 |
12,13 |
13 |
Sidoarjo |
10,01 |
- |
89,99 |
- |
14 |
Situbondo |
20,51 |
- |
77,81 |
1,69 |
15 |
Trenggalek |
8,51 |
- |
86,79 |
4,70 |
16 |
Tulungagung |
1,38 |
- |
98,62 |
- |
Rata-rata |
21,20 |
6,89 |
65,98 |
6,54 |
Produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan melalui perbaikan mutu genetik dan lingkungan, di dalam aplikasinya dilakukan melalui program pemuliaan. Pemuliaan sapi potong yaitu suatu usaha untuk meningkatkan rata-rata produksi sapi melalui perbaikan mutu genetik dalam populasi dengan cara seleksi dan pengaturan perkawinan. Walaupun produksi sapi potong dapat ditingkatkan melalui perbaikan lingkungan, tetapi dampaknya bersifat sementara. Hal ini berbeda dengan perbaikan mutu genetik yang bersifat permanen dan diwariskan.
Produktivitas sapi potong di Pulau Jawa telah lama ditingkatkan dengan berbagai usaha, yaitu melalui perbaikan mutu genetik dan lingkungan. Perbaikan mutu genetik dilakukan dengan cara seleksi dan pengaturan perkawinan. Sistem perkawinan yang telah lama digunakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong adalah persilangan. Sebagai contoh, hasil persilangan sapi potong di Pulau Jawa adalah sapi PO. Sapi PO terbentuk dari sapi Jawa betina yang dikawinkan dengan sapi Sumba Ongole (SO) jantan yang merupakan keturunan sapi Ongole dari India (Hardjosubroto, 1994). Akibatnya sapi Jawa sekarang sulit ditemukan, tetapi di beberapa daerah diduga masih ada dengan populasi kecil, misalnya di Kabupaten Trenggalek dan Pacitan, Jawa Timur, Kabupaten Brebes, Jateng serta Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, Jabar.
Tujuan utama persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa sapi ke dalam satu bangsa silangan (Warwick et al., 1990). Secara genetik, persilangan menaikkan persentase heterosigositas dan variansi genetik. Tujuan lain dari persilangan adalah : a). Pembentukan bangsa baru; b). Grading up; c). Pemanfaatan heterosis. Namun, dalam melakukan persilangan harus betul-betul diperhatikan keunggulan dan kelemahan dari kedua bangsa sapi yang akan disilangkan serta tujuannya untuk apa. Selain itu, ada satu hal yang penting dalam melakukan persilangan, yaitu menjaga kelestarian plasma nutfah.
Hasil penelitian Sumadi et al. (2008) menyatakan, komposisi sapi PO, SIMPO, dan LIMPO di DIY masing-masing 25,75%, 52,38%, dan 21,87% atau 25,75% sapi lokal dan 74,25% sapi silangan, sedangkan di Jawa Tengah masing-masing 51,93%, 36,50%, dan 11,57% atau 51,93% sapi lokal dan 48,07% sapi silangan. Hal ini menunjukkan bahwa populasi sapi PO di Pulau Jawa berdasarkan hasil penelitian di DIY dan Jawa Tengah menurun dengan drastis dan semakin meningkatnya populasi sapi hasil persilangan secara nyata.
Apabila keadaan tersebut terus berlangsung, maka dalam 15 sampai 20 tahun mendatang sapi PO akan punah dari Pulau Jawa. Ditinjau dari produksi daging kondisi ini positif tetapi dari aspek daya dukung wilayah dan peningkatan populasi serta pelestarian sapi PO sebagai plasma nutfah nasional sangat merugikan. Oleh karena itu, perlu upaya segera untuk mengatasi masalah ini dari semua stake holder.
Kuantitas dan kualitas produktivitas sapi potong ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan serta interaksi antara keduanya. Faktor genetik sapi menentukan kemampuan yang dimiliki oleh sapi tersebut sedangkan faktor lingkungan memberi kesempatan kepada sapi untuk menampilkan kemampuannya. Seekor sapi tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik pada tempat sapi tersebut dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin penampilan, apabila sapi tidak memiliki mutu genetik yang baik pula (Hardjosubroto, 1994).
Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen yang terdapat di dalam kromosom dan dalam suatu bangsa sapi potong memiliki jumlah kromosom dan pasangan gen yang sama tetapi memiliki gen yang berbeda. Hal ini menyebabkan kemampuan sapi dalam produksi dan reproduksi juga berbeda sehingga mengakibatkan adanya keragaman pada produktivitasnya. Keragaman ini pada pemuliaan ternak diperlukan untuk melakukan seleksi.
Sistem perkawinan yang banyak digunakan pada sapi potong di Pulau Jawa adalah persilangan dengan cara inseminasi buatan (IB). IB adalah salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas sapi potong lokal melalui pemanfaatan genetik sapi bibit unggul yang disilangkan dengan sapi bibit lokal. Sapi Bos taurus yang digunakan sebagai sumber mani beku (straw) terbiasa hidup di daerah berhawa dingin dengan tatalaksana pemeliharaan yang teratur. Adanya darah Bos Taurus pada sapi potong silangan di peternakan rakyat, diduga menurunkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan kondisi pakan di Pulau Jawa yang kurang baik menurunkan produksi dan reproduksi sapi silangan. Penurunan kemampuan produksi dan reproduksi menimbulkan keadaan tidak efisien dari keseluruhan sistem produksi sapi potong nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Grasindo. Jakarta.
Sambasiviah, K.A., Rao, and Chellappa. 1982. Animal Ecology. S. Chand and Company Ltd. New Delhi.
Sumadi, T. Hartatik, N. Ngadiyono, I. G. S. B. Satria, H. Mulyadi, dan B. Aryadi. 2008. Sebaran Populasi Sapi Potong di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kerjasama antara Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia (Apfindo) dengan Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Warwick, E.J., J. M. Astuti, dan W. Hardjosubroto. 1990. Ilmu Pemuliaan Ternak. Edisi Kelima. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
*Donny Wahyu I., SPt
Pengawas Bibit Ternak Ahli
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
Sumber: DISNAK JATIM